Thursday, March 12, 2015

[Kesehatan] JUTAAN LILIN KECIL DI KEGELAPAN ITU ADALAH HATI KITA – GERAKAN #SAHABATJKN #LAWANTB




Satu video dokumentasi singkat berisi karya fotojurnalis veteran sekaligus legendaris James Nachtwey yang berjudul “Struggle To Live – The Fight Against TB” telah menyisakan kesan mendalam dan membuat saya merasa sesulit apa pun hidup saya, saya masih jauh lebih beruntung dari mereka, yang ada di dalam foto-foto tersebut. Bukannya saya tidak berempati terhadap penderitaan sesama, tapi itu adalah reaksi wajar, paling manusiawi muncul sebagai orang awam.

Melihat mereka, saya teringat pada kondisi terakhir dua sepupu saya yang sama-sama meninggal karena AIDS plus komplikasi TB (walau anggota keluarga besar saya yang lain tetap mengira penyakit mereka itu adalah kanker usus kronis saat ditanya). Kedua sepupu saya tidak termasuk beruntung, karena harus berpulang dalam usia sangat muda—23 tahun, usia masa-masa keemasan hidup seseorang.

Peserta Workshop Blogger Sahabat JKN Lawan TB. Sumber: +Anjari Umarjianto

Saat mengikuti agenda kegiatan workshop #SahabatJKN #lawanTB selama tiga hari di Bandung pada tanggal 3-5 Maret 2015, terselip sesi pojok interaksi dengan sahabat para pasien TB yang telah sembuh dan masih dalam tahap terakhir pengobatan. Tak lupa juga testimoni seorang sahabat ODHA yang menjalani 12 tahun perjuangan sejak divonis positif HIV. 

Testimoni mantan pasien TB. Sumber: Ibu +fadlun arifin 

Kisah dan kondisi terkini mereka tidak nampak seperti dalam orang-orang yang difoto oleh James Nachtwey. Para sahabat itu (dan keluarga) terlihat masih memiliki semangat, ketangguhan daya juang dan tentu saja cita-cita. Yang saya lihat mereka tidak semudah itu menyerah dengan kondisi mereka, dan saya tahu apa yang mereka lakukan tidak pernah—tidak akan pernah mudah prosesnya. Selalu ada tangis kesedihan di balik senyum dan tawa yang mereka perlihatkan.

Saya lalu bertanya dalam hati, kenapa dua almarhum sepupu saya tidak seberuntung mereka yang masih bisa hidup bahkan bisa berkeluarga dalam kondisi positiv HIV dan sembuh dari TB? Saya sendiri hanya mengenal TB sebagai penyakit paru-paru, tak ubahnya bronkitis atau pneumonia, yang para pasiennya selalu dirujuk ke sanatorium untuk penyembuhan. Di mata saya, TB tak ubahnya kusta, yang para penderitanya patut dikucilkan.

Rupanya, kekurangtahuan dan ketidaksadaran (atau bahkan ketidakpedulian) saya ini adalah “kegelapan” yang sama, yang dimiliki oleh banyak orang (mungkin termasuk anda, yang membaca tulisan saya ini). Tanyakan pada diri kita masing-masing, sejauh mana kita kenal tentang TB, seberapa bahaya daya penularannya, bahkan proses penyembuhan dan besar kesempatan penderita TB bisa sembuh total.

Saya baru mengetahui kalau TB merupakan salah satu ancaman dunia global yang mematikan. Menurut ringkasan laporan Global Tuberculosis Control 2014 dari WHO, dalam tahun 2013, 9 juta jiwa terdata menderita TB dan 1,5 juta meninggal karenanya, 360 ribu di antaranya adalah ODHA.  Dalam jumlah sekian banyak tersebut, 56% ada di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik barat. Walau 60 % dari data tersebut adalah pria, namun perempuan dan anak-anak juga memanggul beban resiko yang sama. Sejumlah 510 ribu perempuan dan bersamaan dengan 80 ribu anak HIV negatif meninggal akibat TB dalam kurun tahun yang sama.

Sangat mengerikan? Ya. Takut terkena TB? Jelas. TB berpotensi tinggi sebagai penyakit epidemik dalam satu negara, diperparah oleh sanitasi dan pelayanan kesehatan yang buruk, gizi rendah, lokasi wilayah yang terpencil dan sulit dijangkau, kemiskinan dan bahaya kelaparan. Itulah yang disinggung James Nachtwey saat mendokumentasi para penderita TB di beberapa negara benua Afrika, Bangladesh, dsb. Seorang penderita TB berpotensi menularkan kuman TB pada 10-15 orang di sekitarnya dalam waktu satu tahun, melalui kontak percakapan jarak dekat, dahak, ludah, batuk (udara), tak ubahnya virus influenza.

Namun tahukah juga kita kalau ada 37 juta jiwa yang selamat selama tahun 2000 s/d 2013? Walau kematian akibat TB masih terbilang tinggi, tingkatnya telah menurun setiap tahun. Ini karena diperluasnya kesempatan para penderita TB untuk mendapatkan pengobatan dan gerakan kesadaran untuk menahan laju penularan TB. Sebenarnya, ini yang patut disebarluaskan: #lawanTB sekuat-kuatnya. Tak perlu lagi hidup penuh ketakutan dan dalam kegelapan karena TB.

Di Indonesia, gerakan Lawan TB atau STOP TB terlihat sekali dari jaminan kesehatan (JKN atau BPJS) yang diberikan pemerintah, workshop pengenalan TB dari Puskom Kemenkes seperti yang saya ikuti, peningkatan fasilitas dan pelayanan mulai dari yang paling dasar (puskesmas dan unit-unit-nya), di beberapa rumah sakit rujukan sudah ada klinik atau unit khusus serta tim dokter dari berbagai spesialisasi untuk menangani kasus-kasus TB yang resisten (kebal obat dan membutuhkan proses pengobatan lebih lama). Salah satu rumah sakit rujukan adalah RS Persahabatan (Jakarta) dan RS Hasan Sadikin Bandung.

Klinik DOTS RSHS Bandung. Sumber +Anjari Umarjianto 
Sekarang, para penderita TB di Indonesia bisa punya kesempatan sembuh total dengan obat-obatan yang berikan secara gratis, pengadaan klinik-klinik DOTS atau LSM pendampingan pasien TB. Bukan hanya itu, penyuluhan untuk pencegahan, deteksi TB lebih awal dari kader-kader kesehatan terdidik dan terlatih, program “jemput bola” dari puskesmas setempat serta masih banyak lagi. 

Memang butuh waktu untuk mencapai target yang optimal dan tak mungkin dilakukan pemerintah Indonesia sendirian. Bantuan mengalir dari organisasi-organisasi Internasional macam WHO, USAID, KNCV dan masih banyak lagi. Semua orang punya musuh bersama, yaitu kuman TB; bukan penderitanya. Gerakan lawan TB juga mendobrak stigma penyakit TB sebagai penyakit kutukan dan turunan. Tidak ada satu orang pun ingin hidup sakit atau bahkan ingin dilahirkan sakit, kita harus ingat itu. Pengucilan para penderita TB tak ubahnya membuang mereka dalam lubang kesendirian yang gelap.

Serta, sebagus apapun pengobatan, seaman dan semurah apapun jaminan kesehatan, secanggih apapun fasilitas dan tim dokter yang bertugas, penyembuhan penderita TB tidak akan sukses jika “hati” tidak berperan. Tak hanya hati milik si pasien, tapi juga hati milik orang-orang di sekitarnya. Suara hati membentuk komitmen. Pasien berkomitmen untuk sembuh dan mencegah penularan. Warga sekitar (termasuk keluarga pasien) berkomitmen untuk membentuk lingkungan sehat dan saling memberikan dukungan. 

Sadarkah kita, bahwa sekecil apapun komitmen yang dibentuk dari hati kita bisa menerangi jalan kegelapan para penderita TB yang tidak terdeteksi? Tidak perlu harus melakukan hal besar yang membutuhkan uang banyak atau menyediakan waktu khusus mendampingi pasien TB. Kita mulai dari hal-hal yang paling kecil, seperti mengajari anak dan anggota keluarga kita tentang etika batuk, pentingnya ventilasi dan pencahayaan sinar matahari untuk rumah sehat, atau sekadar membaca artikel-artikel informasi tentang penyakit TB di bawah ini serta bersedia membagikannya. Tidak pernah ada hal yang sia-sia saat hati kita bergerak mau melakukannya.

Beberapa tulisan saya tentang TB (on progress, link menyusul):

DETEKSI DINI MEMPERBESAR KESEMPATAN SEMBUH PASIEN TB

CEGAH MDR DAN XDR TB DENGAN BERKOMITMEN MINUM OBAT

JELI MENGAMATI GEJALA TB PADA ANAK (Kompasiana)

[REPORTASE] CATATAN WORKSHOP SAHABAT JKN LAWAN TB DALAM RANGKA TB DAY 2015 (HARI 1)

[REPORTASE] CATATAN WORKSHOP SAHABAT JKN LAWAN TB DALAM RANGKA TB DAY 2015 (HARI 2)

WAJIB TAHU! ETIKA BATUK DALAM MENCEGAH PENULARAN TB (Blogdetik)

YUK, KITA HIDUP BERKUALITAS DENGAN MELAWAN TB!

ODHA JUGA BERHAK HIDUP SEHAT

Setiap langkah kecil dari hati ibarat nyala lilin bagi orang-orang yang masih melangkah dalam kegelapan. Kecil dan mudah sekali padam. Tapi, kita tidak menyala sendiri, loh! Terdata ada lima juta blog serta jutaan pengguna smartphone dan sejenisnya bersinergi di sosial media online di seluruh Indonesia. Antara mereka ada kita dan sahabat-sahabat yang lain, kan?


Tidak ada yang sia-sia untuk sebuah impian.

Para #SahabatJKN? Mari #lawanTB! NEVER EVER GIVE UP FOR OUR LIVES! Wujudkan Indonesia Bebas TB.

Salam sehat,

2 comments:

  1. Hola Sian Hwa. Turut berduka cita dengan cerita saudara-saudaramu, ya. Mudah-mudahan semakin banyak para penderita TB, HIV dan TB-HIV yang mendapat perlakuan fair dari masyarakat seperti mereka yang kasih testimoni waktu itu.

    ReplyDelete

[Kesehatan] JUTAAN LILIN KECIL DI KEGELAPAN ITU ADALAH HATI KITA – GERAKAN #SAHABATJKN #LAWANTB

Satu video dokumentasi singkat berisi karya fotojurnalis veteran sekaligus legendaris James Nachtwey yang berjudul “Struggle To Live...